Sabtu, 22 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM:
A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 5
Aku, senapati Jaya Perkosa, alias Sanghiyang Hawu, panglima perang Pajajaran, duduk diatas kudaku. ” MIG 28”, itu nama yang kuberikan untuknya. Cepat, lincah dan bisa membaca pikiranku apa maunya. Kami mensejajarkan barisan, semua adalah adik-adiku. Di sebelah kanan adalah Sanghiyang Kondang Hapa dan Batara Pancar Buang. Sebelah kiriku Batara Adipati Wijaya. Di depan kami, Gunung Salak gagah berdiri, tertimpa sinar matahari yang mulai temaram. Hujan reda, menyisakan tanah yang basah dan tetesan air yang tertingal di dedaunan. Pemandangan yang elok, indah, nuansa romantis, bahkan dalam suasana perangpun masih bisa dirasakan nyamannya dayeuh Pakuan.
Dibawahnya, jurang yang curam, parit yang dibuat jaman Sri Baduga sebagai tembok pertahanan kerajaan. Pepohonan dan tanaman perdu memisahkan parit dengan Sungai Cisadane. Air muka sungai sedikit menyusut di musim kemarau ini, bulan Mei, untungnya masih terbantu dengan hujan orografis yang sesekali turun di wilayah Pakuan. Prajurit Pakuan disiagakan menyambut serangan pasukan Surosowan. Seribu prajurit di benteng barat ditambah lima ratus prajurit yang ditarik dari benteng timur antara Taman Sari dan bangsal kesatrian. Di sepanjang benteng timur sampai utara tersebar sebanyak dua ribu prajurit. Benteng barat laut yang menghadap alun-alun luar disiapkan sekitar seribu prajurit dengan konsentrasi di gerbang yang mendapat gempuran paling dasyhat siang tadi. Hanya sekitar lima ribu prajurit yang tersedia, itupun sepertiganya adalah rekruit baru. Kekuatan militer Pajajaran merosot tajam.
Dua bhayangkara setia, yang telah kuangkat jadi panglima (tanpa sepengetahuan Raja, inisiatif sendiri) menghadap, menunggu perintah Panglima.
” Gagak Lesang dan Gagak Pacok !”
” Siap Panglima !”
” Pancing mereka untuk keluar dari persembunyian, hujani dengan panah, turunkan pasukan tumbak. Itulah kesempatan aku untuk menyelamatkan pusaka Pajajaran ”.
” Siap panglima !”
” Sekarang waktunya.” Dan, Gagak Lesang segera memberi aba2 menyerang.
Pasukan turun melalui pintu gerbang yang kini dibuka, mengendap dibawah parit menuju tepi Cisadane. Pasukan Surosowan terpancing, keluar dari persembunyian di hutan. Gagak Pacok memerintahkan pasukan panah untuk beraksi. Tapi, rupanya kedahuluan, hujan panah dari arah hutan bertebaran ke pasukan yang ada di bawah benteng. ” Bangsat ! mereka tahu rencana kita”, guman Gagak Pacok. Keruan saja pasukan tumbak segera mebentengi diri mereka dengan tameng.
Aku memberi tanda kepada adik2ku untuk segera turun menuju gerbang. Dengan perlahan kuda kami menuruni jalan, melewati gerbang dan memacu tanjakan menuju Cipaku. Jauh didepan terlihat pasukan tombak Surosowan yang telah menyebrang sungai dan siap baku hantam dengan pasukan Pajajaran yang sudah menunggu dan berlindung di parit.
” Kembali !” aku memberi perintah kepada adiku. Kuda kupacu naik kembali, berbelok ke kanan menuju arah bangsal Ksatrian. “ Ikuti aku !” Mereka mengekor di belakang dalam formasi semula. Nangganan dan Terong Peot persis di belakangku, diikuti dua kuda yang salah satunya membawa karung kulit harimau berisi pusaka. Paling belakang adalah Sanghiyang Kandang Hawu, sang pengawal benda pusaka.
Teriakan, jeritan, suara pedang beradu terdengar sayup di belakang. Dari kejauhan, bangsal Ksatrian terlihat sepi, aku membelokan kuda ke kanan memasuki hutan. Sekarang formasi harus satu persatu, kuda2 kami harus berjalan perlahan, hutan lebat itu membuat suasana gelap padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam. Ini adalah jalan tembus menuju Bukit Badigul di hulu sungai Cirancamaya. Tidak banyak yang tahu, kecuali beberapa orang Bhayangkara kepercayaanku. Dalam rangka pengamanan Baginda Raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar