PADJADJARAN KINGDOM:
A
NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA
SRIMAN SRIWACANA
PART 5
Aku, senapati Jaya Perkosa, alias Sanghiyang Hawu,
panglima perang Pajajaran, duduk diatas kudaku. ” MIG 28”, itu nama yang kuberikan
untuknya. Cepat, lincah dan bisa membaca pikiranku apa maunya. Kami
mensejajarkan barisan, semua adalah adik-adiku. Di sebelah kanan adalah
Sanghiyang Kondang Hapa dan Batara Pancar Buang. Sebelah kiriku Batara Adipati
Wijaya. Di depan kami, Gunung Salak gagah berdiri, tertimpa sinar matahari yang
mulai temaram. Hujan reda, menyisakan tanah yang basah dan tetesan air yang
tertingal di dedaunan. Pemandangan yang elok, indah, nuansa romantis, bahkan
dalam suasana perangpun masih bisa dirasakan nyamannya dayeuh Pakuan.
Dibawahnya, jurang yang
curam, parit yang dibuat jaman Sri Baduga sebagai tembok pertahanan kerajaan.
Pepohonan dan tanaman perdu memisahkan parit dengan Sungai Cisadane. Air muka
sungai sedikit menyusut di musim kemarau ini, bulan Mei, untungnya masih
terbantu dengan hujan orografis yang sesekali turun di wilayah Pakuan. Prajurit
Pakuan disiagakan menyambut serangan pasukan Surosowan. Seribu prajurit di
benteng barat ditambah lima ratus prajurit yang ditarik dari benteng timur
antara Taman Sari dan bangsal kesatrian. Di sepanjang benteng timur sampai
utara tersebar sebanyak dua ribu prajurit. Benteng barat laut yang menghadap
alun-alun luar disiapkan sekitar seribu prajurit dengan konsentrasi di gerbang
yang mendapat gempuran paling dasyhat siang tadi. Hanya sekitar lima ribu
prajurit yang tersedia, itupun sepertiganya adalah rekruit baru. Kekuatan
militer Pajajaran merosot tajam.
Dua bhayangkara setia,
yang telah kuangkat jadi panglima (tanpa sepengetahuan Raja, inisiatif sendiri)
menghadap, menunggu perintah Panglima.
” Gagak Lesang
dan Gagak Pacok !”
” Siap Panglima
!”
” Pancing mereka
untuk keluar dari persembunyian, hujani dengan panah, turunkan pasukan tumbak.
Itulah kesempatan aku untuk menyelamatkan pusaka Pajajaran ”.
” Siap panglima
!”
” Sekarang
waktunya.” Dan, Gagak Lesang segera memberi aba2 menyerang.
Pasukan turun
melalui pintu gerbang yang kini dibuka, mengendap dibawah parit menuju tepi
Cisadane. Pasukan Surosowan terpancing, keluar dari persembunyian di hutan. Gagak
Pacok memerintahkan pasukan panah untuk beraksi. Tapi, rupanya kedahuluan,
hujan panah dari arah hutan bertebaran ke pasukan yang ada di bawah benteng. ”
Bangsat ! mereka tahu rencana kita”, guman Gagak Pacok. Keruan saja pasukan
tumbak segera mebentengi diri mereka dengan tameng.
Aku memberi
tanda kepada adik2ku untuk segera turun menuju gerbang. Dengan perlahan kuda
kami menuruni jalan, melewati gerbang dan memacu tanjakan menuju Cipaku. Jauh
didepan terlihat pasukan tombak Surosowan yang telah menyebrang sungai dan siap
baku hantam dengan pasukan Pajajaran yang sudah menunggu dan berlindung di
parit.
” Kembali !” aku memberi
perintah kepada adiku. Kuda kupacu naik kembali, berbelok ke kanan menuju arah
bangsal Ksatrian. “ Ikuti aku !” Mereka mengekor di belakang dalam formasi
semula. Nangganan dan Terong Peot persis di belakangku, diikuti dua kuda yang
salah satunya membawa karung kulit harimau berisi pusaka. Paling belakang
adalah Sanghiyang Kandang Hawu, sang pengawal benda pusaka.
Teriakan, jeritan, suara
pedang beradu terdengar sayup di belakang. Dari kejauhan, bangsal Ksatrian
terlihat sepi, aku membelokan kuda ke kanan memasuki hutan. Sekarang formasi
harus satu persatu, kuda2 kami harus berjalan perlahan, hutan lebat itu membuat
suasana gelap padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam. Ini adalah jalan
tembus menuju Bukit Badigul di hulu sungai Cirancamaya. Tidak banyak yang tahu,
kecuali beberapa orang Bhayangkara kepercayaanku. Dalam rangka pengamanan
Baginda Raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar