Minggu, 23 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM:
A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 6
Di alun2 luar, Panglima Surosowan dan para prajuritnya siap melaksanakan sholat maghrib. Sebagian berjaga di sekitarnya. ” Haiyalla shola .... haiyalla falla .... ”, muazin berhenti meneruskan qomat, ragu melanjutkan ketika terdengar riuh genderang perang di seberang benteng.
” Teruskan ”, perintah sang Panglima. Ketika qomat selesai, dia melanjutkan,” rapihkan dan luruskan shaft. Prajurit Surosowan, bada maghrib kita serbu mereka. Prajurit Surosowan, kita akan menunaikan sholat Isya di dalam keraton Pakuan”. Dia menghadap kiblat, arah barat.
” Allahu Akbar !”
” Allahu Akbar ....... ”, balas para prajurit yang menjadi mamum.
Tak ada kekhawatiran di hati Panglima, bukan hanya berserah diri kepada Allah, tetapi dia tahu jumlah pasukan dan kekuatan Pajajaran. Pajajaran sekarang tidak lagi sekuat dulu ketika para Panglima sebelumnya gagal merebut ibu kota Pakuan.
   Bada maghrib penyerbuan ibu kota Pakuan, Dayeuh dimulai. Dimulai dengan serbuan panah berapi, diikuti oleh pasukan yang membawa tombak dan tameng. Dengan mudah gerbang terbuka, tidak ada perlawanan berarti dari pasukan Pakuan. Mereka mundur ke arah keraton, sebagian melarikan diri, meloncati tembok, sebagian mati disambut tombak prajurit Surosowan yang sudah menunggu dibawah.
” Gila lu Men, berani amat ente ...” seorang prajurit Pakuan berdecak kagum melihat kawannya, yang dipanggil Emen tadi, meloncat tembok benteng, bergelosor ke bawah dan menumbak satu orang prajurit musuh sedang tangan kirinya menusukan pedang ke perut lawan yang satu lagi yang terperanjat ketika melihat loncatan Emen.
” Gue tadi terpeleset tahu gak ? ” Emen ketawa. Temannya terkekeh, tapi segera menutup mulut mereka takut kedengar musuh.
” Kita diperintahkan untuk menyelamatkan diri ”
” Ya, aku dengar sendiri perintah itu keluar dari bhayangkara Gagak Pacok”, Emen menyeringai.
” Tapi, kemana kita ?” mereka masih tengkurap, berfikir apa langkah selanjutnya. ” Kita mengendap menuju Cisadane, pura2 mati terapung bersama mayat lainnya. Nanti menepi di kelokan Rimba Mulya”. Ada ide juga akhirnya.
“ Terus mau kemana kita ?” Emen masih belum yakin rencana itu. Yang diyakininya adalah ide hanyut di Cisadane sangat brillian. Bagaimana tidak ? mereka berdua adalah mantan ojek perahu di Cisadane sebelum direkrut jadi prajurit.
“ Aku punya famili di sana, tenang we ente mah, pokokna jeung aing mah nyaho beres weh .....”. Dalam suasana sedih kehilangan teman sesama prajurit, sedih bakal hancurnya keraton Pakuan, mereka masih bisa bersyukur nyawanya tidak hilang.
*******

Sabtu, 22 Februari 2014



 SATU JAM BERSAMA

Kalau anda pernah menonton acara THIS IS YOUR LIFE seperti itulah acara tayangan TV One setiap malam minggu, Satu Jam Bersama ...... Karena yang ditampilkan adalah publik figur acara ini bisa tampil di prime time. Harap maklum saja yang namanya publik figur apa itu tokoh nasional, artis atau sosok yang pernah heboh bahkan sudah mantan sekalipun akan tetap menarik. Kenapa ? karena sebagai tokoh tentunya punya penggemar atau fans.
Alurnya juga hampir mirip, diawali dengan cerita tentang masa kecil yang sangat berbeda dengan kebanyakan. Ditampilkan teman dekat dan sosok yang dekat dan berarti dalam hidupnya. Di sini mereka seolah bernostalgia, banyak pelajaran hidup ditampilkan, yang unik dan yang heboh. Kalau artis seperti penyanyi pastinya diminta menyanyi ..... aya keneh euy hebatna !
This is your life ..... akan selalu menarik karena kitapun boleh memutar balik jejak langkah kita dalam perspektif berbeda .....


PADJADJARAN KINGDOM:
A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 5
Aku, senapati Jaya Perkosa, alias Sanghiyang Hawu, panglima perang Pajajaran, duduk diatas kudaku. ” MIG 28”, itu nama yang kuberikan untuknya. Cepat, lincah dan bisa membaca pikiranku apa maunya. Kami mensejajarkan barisan, semua adalah adik-adiku. Di sebelah kanan adalah Sanghiyang Kondang Hapa dan Batara Pancar Buang. Sebelah kiriku Batara Adipati Wijaya. Di depan kami, Gunung Salak gagah berdiri, tertimpa sinar matahari yang mulai temaram. Hujan reda, menyisakan tanah yang basah dan tetesan air yang tertingal di dedaunan. Pemandangan yang elok, indah, nuansa romantis, bahkan dalam suasana perangpun masih bisa dirasakan nyamannya dayeuh Pakuan.
Dibawahnya, jurang yang curam, parit yang dibuat jaman Sri Baduga sebagai tembok pertahanan kerajaan. Pepohonan dan tanaman perdu memisahkan parit dengan Sungai Cisadane. Air muka sungai sedikit menyusut di musim kemarau ini, bulan Mei, untungnya masih terbantu dengan hujan orografis yang sesekali turun di wilayah Pakuan. Prajurit Pakuan disiagakan menyambut serangan pasukan Surosowan. Seribu prajurit di benteng barat ditambah lima ratus prajurit yang ditarik dari benteng timur antara Taman Sari dan bangsal kesatrian. Di sepanjang benteng timur sampai utara tersebar sebanyak dua ribu prajurit. Benteng barat laut yang menghadap alun-alun luar disiapkan sekitar seribu prajurit dengan konsentrasi di gerbang yang mendapat gempuran paling dasyhat siang tadi. Hanya sekitar lima ribu prajurit yang tersedia, itupun sepertiganya adalah rekruit baru. Kekuatan militer Pajajaran merosot tajam.
Dua bhayangkara setia, yang telah kuangkat jadi panglima (tanpa sepengetahuan Raja, inisiatif sendiri) menghadap, menunggu perintah Panglima.
” Gagak Lesang dan Gagak Pacok !”
” Siap Panglima !”
” Pancing mereka untuk keluar dari persembunyian, hujani dengan panah, turunkan pasukan tumbak. Itulah kesempatan aku untuk menyelamatkan pusaka Pajajaran ”.
” Siap panglima !”
” Sekarang waktunya.” Dan, Gagak Lesang segera memberi aba2 menyerang.
Pasukan turun melalui pintu gerbang yang kini dibuka, mengendap dibawah parit menuju tepi Cisadane. Pasukan Surosowan terpancing, keluar dari persembunyian di hutan. Gagak Pacok memerintahkan pasukan panah untuk beraksi. Tapi, rupanya kedahuluan, hujan panah dari arah hutan bertebaran ke pasukan yang ada di bawah benteng. ” Bangsat ! mereka tahu rencana kita”, guman Gagak Pacok. Keruan saja pasukan tumbak segera mebentengi diri mereka dengan tameng.
Aku memberi tanda kepada adik2ku untuk segera turun menuju gerbang. Dengan perlahan kuda kami menuruni jalan, melewati gerbang dan memacu tanjakan menuju Cipaku. Jauh didepan terlihat pasukan tombak Surosowan yang telah menyebrang sungai dan siap baku hantam dengan pasukan Pajajaran yang sudah menunggu dan berlindung di parit.
” Kembali !” aku memberi perintah kepada adiku. Kuda kupacu naik kembali, berbelok ke kanan menuju arah bangsal Ksatrian. “ Ikuti aku !” Mereka mengekor di belakang dalam formasi semula. Nangganan dan Terong Peot persis di belakangku, diikuti dua kuda yang salah satunya membawa karung kulit harimau berisi pusaka. Paling belakang adalah Sanghiyang Kandang Hawu, sang pengawal benda pusaka.
Teriakan, jeritan, suara pedang beradu terdengar sayup di belakang. Dari kejauhan, bangsal Ksatrian terlihat sepi, aku membelokan kuda ke kanan memasuki hutan. Sekarang formasi harus satu persatu, kuda2 kami harus berjalan perlahan, hutan lebat itu membuat suasana gelap padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam. Ini adalah jalan tembus menuju Bukit Badigul di hulu sungai Cirancamaya. Tidak banyak yang tahu, kecuali beberapa orang Bhayangkara kepercayaanku. Dalam rangka pengamanan Baginda Raja.

Jumat, 21 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM:
A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 4

Bukanlah Jaya Perkosa, panglima gaek Pajajaran, kalau tidak bisa memperkirakan pergerakan lawan. Yang membuat suprise panglima adalah adanya pasukan musuh dalam jumlah besar di tepi parit selatan.
” Berapa banyak ?” tanya sang panglima.
” Sekitar seratusan pasukan”.
” Bagaimana kau tahu ?”
” Dari balasan panah yang mereka tujukan kepada kami”.
” Bisa saja Cuma setengah jumlahnya. Mereka melesatkan panah sekaligus dua atau tiga batang”. Jaya Perkosa berhitung cepat. ”
” Pindahkan sebagian pasukan dari Gerbang Lawang Gintung ke sisi selatan parit. Hujani dengan panah dan tombak, sibukan mereka ketika senja tiba !”
” Panglima mau lewat mana ?” serentak kedua Bhayangkarta itu bertanya.
” Jangan pikirkan aku, laksanakan saja perintah itu !”, Jaya Perkosa kemudian memandang kedua Bhayangkara pengawalnya, ” Pergilah kalian, waktu tidak banyak. Suruh kosongkan istana dan selamatkan jiwa keluargamu”.
Ke-empat Bhayangkara segera memacu kudanya dalam kecepatan tinggi. Ke-empat bersaudara melanjutkan perjalanan ke sisi selatan dayeuh, dalam formasi seperti ketika mereka meninggalkan ruang pusaka. Sanghiyang Hawu, Panglima Perang Pajajaran, Senopati Jaya Perkosa, tahu pasti mana jalan yang aman untuk meloloskan dan menyelamatkan benda pusaka Pajajaran. Hujan kian reda, gerimis kecil menimpa dedaunan pohon paku yang berjejer sekitar istana. Di alun-alun pasukan Surosowan bersiap melakukan penyerbuan. Keraton Pajajaran harus dikuasai malam ini. Ya, malam ini juga. 

*******

Kamis, 20 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM:
A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 3
Di luar telah menunggu Kondang Hapa dan Terong Peot, siap diatas kuda mereka. Kedua Bayangkhara di atas kuda mereka, serta dua kuda yang siap dimuati barang pusaka.
” Tukar kuda kalian dengan yang baru !” perintah Jaya Perkosa untuk Kondang Hapa dan Terong Peot sambil menunjuk kuda yng dibawa kedua Bhayangkara tadi. Terlalu lelah bagi keduanya untuk bertanya. Perang untuk mempertahankan dayeuh selama dua hari ini telah merenggut seluruh napas dan keberanian mereka, prajurit tangguh kerajaan sekalipun. Perintah lain keluar dari mulut Jaya Perkosa, tegas, tidak ada kelelahan maupun kecemasan sedikitpun dalam nadanya, ” Ikat kantong ini di kuda yang satu, tambatkan di pelana kuda Kondang Hapa. Kuda satunya tambatkan di pelana kuda Terong Peot”. Perintah itu dilaksanakan oleh kedua Bhayangkara. Setelah selesai dipeluknya mereka, dua kesatria pendamping Senapati pada berbagai pertempuran.
” Kalian kembali ke pasukan, mundur sebelum senja tiba. Kosongkan istana dan selamatkan diri dan keluarga kalian.” Mereka diam, semakin erat pelukan kedua ksatria itu. Mata mereka berkaca, dibenamkan wajah mereka di bahu kokoh sang Senapati. Jaya Perkosa merenggangkan pelukan mereka, menaruh erat kedua tangannya di bahu mereka.
” Laksanakan. Ini perintah sang Raja. Sekarang kalian adalah panglima, kita akan bertemu lagi untuk kejayaan Pakuan Pajajaran”. Ucapan itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri. Jaya Perkosa, Sanghiyang Hawu, bahkan tidak yakin akan kalimatnya sendiri ketika menghadapi suasana seperti ini. ” Kalian !”, sambil mengarahkan pandangan kepada pasukan penjaga pusaka, yang terdiam menyaksikan drama langka dalam karirnya sebagai prajurit, ” kalian juga, tinggalkan tempat ini sebelum hari gelap”.
Tiba-tiba kepala penjaga maju ke depan,” kami akan pertahankan tempat ini sampai ajal memisahkan kami”.
Jaya Perkosa tidak diam. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Waktu bukan miliknya lagi, milik ke-empat bersaudara itu. Empat bersaudara itu segera melarikan kuda mereka dalam kecepatan sedang saja. Paling depan adalah jaya Perkosa, diiringi Terong Peot dan Kondang Hapa dalam posisi yang sejajar, Nangganan dibelakangnya. Tiba-tiba dua Bhayangkara menyusul dan berada pada posisi di samping kiri dan kanan Jaya Perkosa.
” Panglima, kami akan mengawal sampai benteng”.
” Ijinkan kami panglima”, dengan suara gemetar, ucap Bhayangkara yang satunya.
Kuda mereka dipacu lebih cepat mengarah ke bagian tenggara dayeuh.Tiba-tiba dari arah kiri dan kanan datang dua kuda dengan kecepatan tinggi. Mereka adalah Bhayangkara telik sandi yang sudah melihat anak panah berdesing mengeluarkan bunyi berdesis, tanda peringatan keadaan sangat penting dan genting, critical time. Panah itu dilesatkan ke udara oleh salah seorang Bhayangkara pendamping Kondang Hapa ketika sampai di Paseban.
Jaya Perkosa segera menghentakan kudanya, berhenti ketika kedua prajurit itu menghampirinya.
” Taman Sari telah dikepung pasukan Cirebon. Panglima tidak bisa keluar melalui gerbang Lawang Gintung”.
” Parit perlindungan sebelah selatan juga sudah dipenuhi pasukan Surosowan, mereka bersembunyi di hutan dekat tepi Sungai Cisadane”, Bhayangkara satunya melaporkan dengan terbata-bata.

Selasa, 18 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM: A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 2
Dua orang prajurit melesat diatas kuda mereka menuju ke utara, mengarah ke Lawang Saketeng dimana Pasukan Cirebon bermarkas. Dua orang pilihan itu adalah prajurit Cakrabihwa yang memiliki keahlian menyusup ke daerah musuh. Dinas rahasia kerajaan.
  Sementara itu di Paseban Keraton, dua orang petinggi Pakuan berjalan mondar-mandir, pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario penyelamatan, bercampur aduk kagak karuan, bak koktail yang gagal disajikan karena rasanya sungguh tidak karuan. Dalam keadaan darurat perang, ruang Paseban yang cukup besar dijadikan markas komando pasukan Pakuan.
  Batara Adipati Wirajaya menghampiri Senapati Jaya Perkosa. “ Kakang,” tetapi yang dipanggil diam saja.
“ Sanghiyang Hawu,” Wirajaya memanggil nama lain sang Senapati.
“ Ada apa Nangganan.” Jaya Perkosa malah membalas memanggil nama jabatan sang adik.
“Hujan ini membantu kita. Sang Hyang Wisesa masih melindungi.” Nangganan berguman. Matanya kosong kedepan.
“ Ya, memberi kesempatan kita untuk segera pergi.”
“ Pergi ? Maksud kakang kita melarikan diri ?”
“ Menyelamatkan, Nangganan !” Jaya Perkosa tidak berkenan dengan ucapan adiknya tadi.
“ Ha, apa bedanya menyelamatkan dengan melarikan ?” suara keputusasaan terdengar dari mulut Nangganan yang kering.
” Kita tunggu laporan Sanghiyang Kondang Hapa dan Terong Peot.”
 Yang datang lebih dulu adalah Batara Pancar Buang, yang tadi disebut Terong Peot. Raut mukanya menandakan kegundahan yang dalam, keletihan yang sangat. Terong Peot ditugasi kakaknya untuk memantau upaya penghadangan pasukan musuh, melaporkan kejadian lapangan, dan meneruskan perintah sang Senapati kepada para kepala ponggawa.
Derap kuda terdengar mendekat, Sanghiyang Kondang Hapa diiringi dua punggawa segera turun dari kuda dan menghampiri Jaya Perkosa sambil mengelengkan kepalanya. Napasnya terengah, ada darah mengering di kening dan dadanya berbaur dengan tetesan air hujan. Jaya Perkosa tidak perlu lagi mengevaluasi situasi. Waktu bukan milik mereka lagi. Saatnya pergi, saatnya menyelamatkan diri, saatnya lari.
” Siapkan dua kuda yang segar, juga kuda yang biasa aku tunggangi dan kuda Nangganan juga !” perintah Jaya Perkosa kepada dua punggawa yang datang bersama Kondang Hapa. Mereka berdua adalah prajurit Bayangkhara yang biasa bertempur mendampingi sang Senopati. Mereka segera belari menuju istal kuda.
” Terong Peot dan Kondang Hapa, siapkan diri kalian untuk perjalan jauh.” Bergegas Kondang Hapa menuju bilik pribadinya. Dalam keadaan darurat perang, para perwira diijinkan untuk memakai kamar2 yang ada di Paseban untuk menympan barang milik pribadi yang penting. Terong Peot mengekor dibelakangnya, masuk kamar yang bersebelahan dengan kakaknya. Kujang,  senjata rahasia yang ukurannya kecil, dan beberapa jimat dibungkus dan disilendangkan ke  badannya. Mereka berdua tidak perlu tanya, perintah kakaknya sudah jelas. Hal seperti ini bukan sekali, dalam beberapa pertempuran di medan lagi, prosedur darurat penyelamatan sudah menjadi kenistaan baku.
” Nangganan ikut aku !” Kedua bersaudara itu bergegas menuju tempat penyimpanan Pusaka Kerajaan yang lokasinya tepat disebelah tempat kediaman raja, sebelah kanan Paseban, terpisah oleh taman yang tidak terawat lagi. Lima orang prajurit menjaga tempat itu, dan segera memberi hormat kepada kedua orang petinggi Pakuan.
” Bukakan pintu ruang Pusaka !”
” Siap panglima.” Seorang prajurit, kepala penjaga itu berlari, mengambil kunci yang disembunyikan di pinggangnya. Pintu ruangan terbuka. Prajurit itu berdiri tegak di sisi, membelakangi pintu. Senapati segera masuk, merogoh saku kanannya, mengeluarkan kunci, dan membuka salah satu kamar di ruangan itu.
” Ambil kantung kulit harimau di pojok sana,” perintah Senapati kepada Nangganan. Jaya Perkosa membuka peti kayu yang terukur cantik, tersimpan beralaskan meja ukir kayu jati. Memasukan sebuah mahkota dan sebuah kalung ke dalam kantung yang tadi diambil Nangganan.
” Ayo kita pergi !” sambil menarik tangan Nangganan karena Batara adipati Wirajaya yang diam memperhatikan benda yang ditutupi kain putih.
” Ayo cepat, waktu kita tak banyak !” sekali lagi Jaya Perkosa memberi perintah, sambil membetot tangan adiknya.
” Bagaimana dengan pusaka itu kakang ?”
” Tinggalkan !”
” Tinggalkan ?”
” Ya tinggalkan !”
” Bukankah ada dua kuda segar yang siap membawa pusaka itu ?”
” Tinggalkan kataku !” mata sang Senapati melotot, membentak adiknya.
” Bag, ... bagaimana bisa ?”
” Perintah sang raja, ayo !” Jaya Perkosa setengah berlari. Ditinggalkan adiknya yang masih termangu, bingung menyikapi perintah kakaknya.

Senin, 17 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM: A STORY
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 1

Ini bukan perang antara Islam dengan Hindu. Ini adalah perang untuk meneguhkan hegemoni, siapa yang paling berkuasa di pulau Jawa. Tahun 1527, Kerajaan Majapahit ditaklukan. Tahun 1546 Kerajaan Blambangan tumbang. Yang tersisa hanya Pajajaran, Kerajaan di tatar Sunda. Kesultanan Banten telah menguasai hampir seluruh wilayah pantai utara yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Pajajaran. Kota - kota pelabuhan, pusat perdagangan dan urat nadi ekonomi, kini dibawah kendali Surasowan. Pajajaran lumpuh sudah, tetapi penyerbuan ke  pusat Kerajaan Pajajaran harus dilakukan.

Dayeuh Pakuan (mei 1579)
         
Awan orografis tebal melekat di dinding Gunung Salak, pertanda akan hujan. Rancamaya dan Dayeuh Pakuan basah diguyur air dari langit.  Terdengar  bunyi sangkala, bendera biru dikibarkan, pasukan Surasowan ditarik mundur. Mereka kemudian berkumpul di alun-alun luar, dibawah pohon beringin yang besar.
Lokasi ini menjadi pusat komando penyerbuan, tempat berkumpulnya prajurit Banten yang datang melalui Sungai Cisadane. Perbekalan perang, perawatan prajurit yang luka, dan pengaturan strategi penyerbuan dibicarakan disini. Aman dari jangkauan panah prajurit Pakuan.   
          Panglima perang Surosowan memanggil tiga orang prajurit kepala sebagai pimpinan penyerbuan.  
” Panglima, benteng sisi barat sukar ditembus, kami kesulitan memanjat benteng yang curam”. Ada luka di lengan kirinya, tapi tidak terlalu parah.
” Kenapa sulit ditembus ?”
” Mereka menghujani kami dengan panah. Kami balas dengan panah api untuk membakar rumah penduduk di dalam benteng, dan berhasil menimbulkan kepanikan. Jumlah prajurit Pajajaran juga tidak banyak, kami perkirakan tidak lebih dari seratus orang, menaksir jumlah panah yang mereka arahkan ke kami ”, dia melanjutkan dengan sedikit rasa takut karena belum berhasil menembus masuk dayeuh bagian dalam.
” Lapor panglima !” seorang prajurit kepala langsung beringsut ke depan tanpa menunggu punggawa sebelumnya menyelesaikan laporan. Mungkin juga bermaksud membantu kawannya itu sebelum mendapat kemarahan panglimanya. ” Kami berhasil menebas dua prajurit lawan. Mereka tercerai berai dan mundur ke arah keraton. Tiga orang kami berhasil menyusup lewat melalui dua sungai kecil yang mengalir di benteng utara. Yang dimaksud prajurit itu adalah Sungai Cipakancilan dan Sungai Cibalok.
” Maksudmu ketiga prajurit itu diperintahkan menyusup untuk membantu mendobrak gerbang dari dalam ?”
” Siap Panglima”, sambil menganggukkan kepalanya.
” Dan, gerbang itu, kapan kita bisa menjebolnya ?” Panglima mengarahkan matanya kepada prajurit kepala yang paling berotot diantara ketiganya.
” Beberapa bagian gerbang sudah mulai rusak. Kami banyak kehilangan prajurit karena pasukan lawan terkonsentrasi di situ. Kami mohon pasukan tambahan untuk menggedor gerbang dan pasukan pemanah untuk mengacaukan lawan”.
Panglima mengangguk. Merenung sebentar, dan menghela napas panjang. ”Kita jeda dulu. Istirahatkan pasukan kalian, hujan ini tidak menguntungkan kita. Selanjutnya, penyerangan kita pusatkan di pintu gerbang tadi. Nanti malam !” Ketiga kepala prajurit meningalkan panglima menuju kelompoknya masing2.
Panglima Sorosowan melihat sekeliling, pandangan matanya berhenti ketika melihat ponggawa yang memakai gelang di pangkal tangan kananya.  
” Siap Panglima ”, dia menghampiri sambil memberi hormat.
” Perintahkan wakilmu untuk menemui Panglima Cirebon. Katakan malam ini kita masuk keraton Pakuan. Malam ini ! Pasukan Cirebon menggempur benteng di sisi Sungai Ciliwung, masuki gerbang yang ada di Taman Sari”.