Kamis, 20 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM:
A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 3
Di luar telah menunggu Kondang Hapa dan Terong Peot, siap diatas kuda mereka. Kedua Bayangkhara di atas kuda mereka, serta dua kuda yang siap dimuati barang pusaka.
” Tukar kuda kalian dengan yang baru !” perintah Jaya Perkosa untuk Kondang Hapa dan Terong Peot sambil menunjuk kuda yng dibawa kedua Bhayangkara tadi. Terlalu lelah bagi keduanya untuk bertanya. Perang untuk mempertahankan dayeuh selama dua hari ini telah merenggut seluruh napas dan keberanian mereka, prajurit tangguh kerajaan sekalipun. Perintah lain keluar dari mulut Jaya Perkosa, tegas, tidak ada kelelahan maupun kecemasan sedikitpun dalam nadanya, ” Ikat kantong ini di kuda yang satu, tambatkan di pelana kuda Kondang Hapa. Kuda satunya tambatkan di pelana kuda Terong Peot”. Perintah itu dilaksanakan oleh kedua Bhayangkara. Setelah selesai dipeluknya mereka, dua kesatria pendamping Senapati pada berbagai pertempuran.
” Kalian kembali ke pasukan, mundur sebelum senja tiba. Kosongkan istana dan selamatkan diri dan keluarga kalian.” Mereka diam, semakin erat pelukan kedua ksatria itu. Mata mereka berkaca, dibenamkan wajah mereka di bahu kokoh sang Senapati. Jaya Perkosa merenggangkan pelukan mereka, menaruh erat kedua tangannya di bahu mereka.
” Laksanakan. Ini perintah sang Raja. Sekarang kalian adalah panglima, kita akan bertemu lagi untuk kejayaan Pakuan Pajajaran”. Ucapan itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri. Jaya Perkosa, Sanghiyang Hawu, bahkan tidak yakin akan kalimatnya sendiri ketika menghadapi suasana seperti ini. ” Kalian !”, sambil mengarahkan pandangan kepada pasukan penjaga pusaka, yang terdiam menyaksikan drama langka dalam karirnya sebagai prajurit, ” kalian juga, tinggalkan tempat ini sebelum hari gelap”.
Tiba-tiba kepala penjaga maju ke depan,” kami akan pertahankan tempat ini sampai ajal memisahkan kami”.
Jaya Perkosa tidak diam. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Waktu bukan miliknya lagi, milik ke-empat bersaudara itu. Empat bersaudara itu segera melarikan kuda mereka dalam kecepatan sedang saja. Paling depan adalah jaya Perkosa, diiringi Terong Peot dan Kondang Hapa dalam posisi yang sejajar, Nangganan dibelakangnya. Tiba-tiba dua Bhayangkara menyusul dan berada pada posisi di samping kiri dan kanan Jaya Perkosa.
” Panglima, kami akan mengawal sampai benteng”.
” Ijinkan kami panglima”, dengan suara gemetar, ucap Bhayangkara yang satunya.
Kuda mereka dipacu lebih cepat mengarah ke bagian tenggara dayeuh.Tiba-tiba dari arah kiri dan kanan datang dua kuda dengan kecepatan tinggi. Mereka adalah Bhayangkara telik sandi yang sudah melihat anak panah berdesing mengeluarkan bunyi berdesis, tanda peringatan keadaan sangat penting dan genting, critical time. Panah itu dilesatkan ke udara oleh salah seorang Bhayangkara pendamping Kondang Hapa ketika sampai di Paseban.
Jaya Perkosa segera menghentakan kudanya, berhenti ketika kedua prajurit itu menghampirinya.
” Taman Sari telah dikepung pasukan Cirebon. Panglima tidak bisa keluar melalui gerbang Lawang Gintung”.
” Parit perlindungan sebelah selatan juga sudah dipenuhi pasukan Surosowan, mereka bersembunyi di hutan dekat tepi Sungai Cisadane”, Bhayangkara satunya melaporkan dengan terbata-bata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar