PADJADJARAN KINGDOM:
A
NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA
SRIMAN SRIWACANA
PART 3
Di luar telah menunggu Kondang Hapa dan Terong Peot,
siap diatas kuda mereka. Kedua Bayangkhara di atas kuda mereka, serta dua kuda
yang siap dimuati barang pusaka.
” Tukar kuda kalian
dengan yang baru !” perintah Jaya Perkosa untuk Kondang Hapa dan Terong Peot
sambil menunjuk kuda yng dibawa kedua Bhayangkara tadi. Terlalu lelah bagi
keduanya untuk bertanya. Perang untuk mempertahankan dayeuh selama dua hari ini
telah merenggut seluruh napas dan keberanian mereka, prajurit tangguh kerajaan
sekalipun. Perintah lain keluar dari mulut Jaya Perkosa, tegas, tidak ada
kelelahan maupun kecemasan sedikitpun dalam nadanya, ” Ikat kantong ini di kuda
yang satu, tambatkan di pelana kuda Kondang Hapa. Kuda satunya tambatkan di
pelana kuda Terong Peot”. Perintah itu dilaksanakan oleh kedua Bhayangkara.
Setelah selesai dipeluknya mereka, dua kesatria pendamping Senapati pada berbagai
pertempuran.
” Kalian kembali ke
pasukan, mundur sebelum senja tiba. Kosongkan istana dan selamatkan diri dan
keluarga kalian.” Mereka diam, semakin erat pelukan kedua ksatria itu. Mata
mereka berkaca, dibenamkan wajah mereka di bahu kokoh sang Senapati. Jaya
Perkosa merenggangkan pelukan mereka, menaruh erat kedua tangannya di bahu
mereka.
” Laksanakan. Ini
perintah sang Raja. Sekarang kalian adalah panglima, kita akan bertemu lagi
untuk kejayaan Pakuan Pajajaran”. Ucapan itu lebih banyak ditujukan kepada
dirinya sendiri. Jaya Perkosa, Sanghiyang Hawu, bahkan tidak yakin akan
kalimatnya sendiri ketika menghadapi suasana seperti ini. ” Kalian !”, sambil
mengarahkan pandangan kepada pasukan penjaga pusaka, yang terdiam menyaksikan
drama langka dalam karirnya sebagai prajurit, ” kalian juga, tinggalkan tempat
ini sebelum hari gelap”.
Tiba-tiba kepala penjaga
maju ke depan,” kami akan pertahankan tempat ini sampai ajal memisahkan kami”.
Jaya Perkosa tidak diam.
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Waktu bukan miliknya lagi, milik ke-empat
bersaudara itu. Empat bersaudara itu segera melarikan kuda mereka dalam
kecepatan sedang saja. Paling depan adalah jaya Perkosa, diiringi Terong Peot
dan Kondang Hapa dalam posisi yang sejajar, Nangganan dibelakangnya. Tiba-tiba
dua Bhayangkara menyusul dan berada pada posisi di samping kiri dan kanan Jaya
Perkosa.
” Panglima, kami akan
mengawal sampai benteng”.
” Ijinkan kami
panglima”, dengan suara gemetar, ucap Bhayangkara yang satunya.
Kuda mereka dipacu lebih
cepat mengarah ke bagian tenggara dayeuh.Tiba-tiba dari arah kiri dan kanan
datang dua kuda dengan kecepatan tinggi. Mereka adalah Bhayangkara telik sandi
yang sudah melihat anak panah berdesing mengeluarkan bunyi berdesis, tanda
peringatan keadaan sangat penting dan genting, critical time. Panah itu
dilesatkan ke udara oleh salah seorang Bhayangkara pendamping Kondang Hapa
ketika sampai di Paseban.
Jaya Perkosa segera
menghentakan kudanya, berhenti ketika kedua prajurit itu menghampirinya.
” Taman Sari telah dikepung
pasukan Cirebon. Panglima tidak bisa keluar melalui gerbang Lawang Gintung”.
” Parit perlindungan
sebelah selatan juga sudah dipenuhi pasukan Surosowan, mereka bersembunyi di
hutan dekat tepi Sungai Cisadane”, Bhayangkara satunya melaporkan dengan terbata-bata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar