Selasa, 18 Februari 2014


PADJADJARAN KINGDOM: A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 2
Dua orang prajurit melesat diatas kuda mereka menuju ke utara, mengarah ke Lawang Saketeng dimana Pasukan Cirebon bermarkas. Dua orang pilihan itu adalah prajurit Cakrabihwa yang memiliki keahlian menyusup ke daerah musuh. Dinas rahasia kerajaan.
  Sementara itu di Paseban Keraton, dua orang petinggi Pakuan berjalan mondar-mandir, pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario penyelamatan, bercampur aduk kagak karuan, bak koktail yang gagal disajikan karena rasanya sungguh tidak karuan. Dalam keadaan darurat perang, ruang Paseban yang cukup besar dijadikan markas komando pasukan Pakuan.
  Batara Adipati Wirajaya menghampiri Senapati Jaya Perkosa. “ Kakang,” tetapi yang dipanggil diam saja.
“ Sanghiyang Hawu,” Wirajaya memanggil nama lain sang Senapati.
“ Ada apa Nangganan.” Jaya Perkosa malah membalas memanggil nama jabatan sang adik.
“Hujan ini membantu kita. Sang Hyang Wisesa masih melindungi.” Nangganan berguman. Matanya kosong kedepan.
“ Ya, memberi kesempatan kita untuk segera pergi.”
“ Pergi ? Maksud kakang kita melarikan diri ?”
“ Menyelamatkan, Nangganan !” Jaya Perkosa tidak berkenan dengan ucapan adiknya tadi.
“ Ha, apa bedanya menyelamatkan dengan melarikan ?” suara keputusasaan terdengar dari mulut Nangganan yang kering.
” Kita tunggu laporan Sanghiyang Kondang Hapa dan Terong Peot.”
 Yang datang lebih dulu adalah Batara Pancar Buang, yang tadi disebut Terong Peot. Raut mukanya menandakan kegundahan yang dalam, keletihan yang sangat. Terong Peot ditugasi kakaknya untuk memantau upaya penghadangan pasukan musuh, melaporkan kejadian lapangan, dan meneruskan perintah sang Senapati kepada para kepala ponggawa.
Derap kuda terdengar mendekat, Sanghiyang Kondang Hapa diiringi dua punggawa segera turun dari kuda dan menghampiri Jaya Perkosa sambil mengelengkan kepalanya. Napasnya terengah, ada darah mengering di kening dan dadanya berbaur dengan tetesan air hujan. Jaya Perkosa tidak perlu lagi mengevaluasi situasi. Waktu bukan milik mereka lagi. Saatnya pergi, saatnya menyelamatkan diri, saatnya lari.
” Siapkan dua kuda yang segar, juga kuda yang biasa aku tunggangi dan kuda Nangganan juga !” perintah Jaya Perkosa kepada dua punggawa yang datang bersama Kondang Hapa. Mereka berdua adalah prajurit Bayangkhara yang biasa bertempur mendampingi sang Senopati. Mereka segera belari menuju istal kuda.
” Terong Peot dan Kondang Hapa, siapkan diri kalian untuk perjalan jauh.” Bergegas Kondang Hapa menuju bilik pribadinya. Dalam keadaan darurat perang, para perwira diijinkan untuk memakai kamar2 yang ada di Paseban untuk menympan barang milik pribadi yang penting. Terong Peot mengekor dibelakangnya, masuk kamar yang bersebelahan dengan kakaknya. Kujang,  senjata rahasia yang ukurannya kecil, dan beberapa jimat dibungkus dan disilendangkan ke  badannya. Mereka berdua tidak perlu tanya, perintah kakaknya sudah jelas. Hal seperti ini bukan sekali, dalam beberapa pertempuran di medan lagi, prosedur darurat penyelamatan sudah menjadi kenistaan baku.
” Nangganan ikut aku !” Kedua bersaudara itu bergegas menuju tempat penyimpanan Pusaka Kerajaan yang lokasinya tepat disebelah tempat kediaman raja, sebelah kanan Paseban, terpisah oleh taman yang tidak terawat lagi. Lima orang prajurit menjaga tempat itu, dan segera memberi hormat kepada kedua orang petinggi Pakuan.
” Bukakan pintu ruang Pusaka !”
” Siap panglima.” Seorang prajurit, kepala penjaga itu berlari, mengambil kunci yang disembunyikan di pinggangnya. Pintu ruangan terbuka. Prajurit itu berdiri tegak di sisi, membelakangi pintu. Senapati segera masuk, merogoh saku kanannya, mengeluarkan kunci, dan membuka salah satu kamar di ruangan itu.
” Ambil kantung kulit harimau di pojok sana,” perintah Senapati kepada Nangganan. Jaya Perkosa membuka peti kayu yang terukur cantik, tersimpan beralaskan meja ukir kayu jati. Memasukan sebuah mahkota dan sebuah kalung ke dalam kantung yang tadi diambil Nangganan.
” Ayo kita pergi !” sambil menarik tangan Nangganan karena Batara adipati Wirajaya yang diam memperhatikan benda yang ditutupi kain putih.
” Ayo cepat, waktu kita tak banyak !” sekali lagi Jaya Perkosa memberi perintah, sambil membetot tangan adiknya.
” Bagaimana dengan pusaka itu kakang ?”
” Tinggalkan !”
” Tinggalkan ?”
” Ya tinggalkan !”
” Bukankah ada dua kuda segar yang siap membawa pusaka itu ?”
” Tinggalkan kataku !” mata sang Senapati melotot, membentak adiknya.
” Bag, ... bagaimana bisa ?”
” Perintah sang raja, ayo !” Jaya Perkosa setengah berlari. Ditinggalkan adiknya yang masih termangu, bingung menyikapi perintah kakaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar