PADJADJARAN KINGDOM: A NOVEL BY ADANG SETIANA
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
PART 2
Dua orang prajurit
melesat diatas kuda mereka menuju ke utara, mengarah ke Lawang Saketeng dimana
Pasukan Cirebon bermarkas. Dua orang pilihan itu adalah prajurit Cakrabihwa
yang memiliki keahlian menyusup ke daerah musuh. Dinas rahasia kerajaan.
Sementara itu di Paseban Keraton, dua orang
petinggi Pakuan berjalan mondar-mandir, pikirannya dipenuhi dengan berbagai
skenario penyelamatan, bercampur aduk kagak karuan, bak koktail yang gagal
disajikan karena rasanya sungguh tidak karuan. Dalam keadaan darurat perang,
ruang Paseban yang cukup besar dijadikan markas komando pasukan Pakuan.
Batara Adipati Wirajaya menghampiri Senapati
Jaya Perkosa. “ Kakang,” tetapi yang dipanggil diam saja.
“ Sanghiyang Hawu,”
Wirajaya memanggil nama lain sang Senapati.
“ Ada apa Nangganan.”
Jaya Perkosa malah membalas memanggil nama jabatan sang adik.
“Hujan ini membantu
kita. Sang Hyang Wisesa masih melindungi.” Nangganan berguman. Matanya kosong
kedepan.
“ Ya, memberi kesempatan
kita untuk segera pergi.”
“ Pergi ? Maksud kakang
kita melarikan diri ?”
“ Menyelamatkan,
Nangganan !” Jaya Perkosa tidak berkenan dengan ucapan adiknya tadi.
“ Ha, apa bedanya
menyelamatkan dengan melarikan ?” suara keputusasaan terdengar dari mulut
Nangganan yang kering.
” Kita tunggu laporan Sanghiyang
Kondang Hapa dan Terong Peot.”
Yang datang lebih dulu adalah Batara Pancar Buang, yang
tadi disebut Terong Peot. Raut mukanya menandakan kegundahan yang dalam, keletihan yang sangat.
Terong Peot ditugasi kakaknya untuk memantau upaya penghadangan pasukan musuh,
melaporkan kejadian lapangan, dan meneruskan perintah sang Senapati kepada para
kepala ponggawa.
Derap kuda terdengar
mendekat, Sanghiyang Kondang Hapa diiringi dua punggawa segera turun dari kuda
dan menghampiri Jaya Perkosa sambil mengelengkan kepalanya. Napasnya terengah,
ada darah mengering di kening dan dadanya berbaur dengan tetesan air hujan.
Jaya Perkosa tidak perlu lagi mengevaluasi situasi. Waktu bukan milik mereka
lagi. Saatnya pergi, saatnya menyelamatkan diri, saatnya lari.
” Siapkan dua kuda yang
segar, juga kuda yang biasa aku tunggangi dan kuda Nangganan juga !” perintah
Jaya Perkosa kepada dua punggawa yang datang bersama Kondang Hapa. Mereka
berdua adalah prajurit Bayangkhara yang biasa bertempur mendampingi sang
Senopati. Mereka segera belari menuju istal kuda.
” Terong Peot dan
Kondang Hapa, siapkan diri kalian untuk perjalan jauh.” Bergegas Kondang Hapa
menuju bilik pribadinya. Dalam keadaan darurat perang, para perwira diijinkan
untuk memakai kamar2 yang ada di Paseban untuk menympan barang milik pribadi
yang penting. Terong Peot mengekor dibelakangnya, masuk kamar yang bersebelahan
dengan kakaknya. Kujang, senjata rahasia
yang ukurannya kecil, dan beberapa jimat dibungkus dan disilendangkan ke badannya. Mereka berdua tidak perlu tanya,
perintah kakaknya sudah jelas. Hal seperti ini bukan sekali, dalam beberapa
pertempuran di medan lagi, prosedur darurat penyelamatan sudah menjadi
kenistaan baku.
” Nangganan ikut aku !”
Kedua bersaudara itu bergegas menuju tempat penyimpanan Pusaka Kerajaan yang
lokasinya tepat disebelah tempat kediaman raja, sebelah kanan Paseban, terpisah
oleh taman yang tidak terawat lagi. Lima orang prajurit menjaga tempat itu, dan
segera memberi hormat kepada kedua orang petinggi Pakuan.
” Bukakan pintu ruang
Pusaka !”
” Siap panglima.”
Seorang prajurit, kepala penjaga itu berlari, mengambil kunci yang
disembunyikan di pinggangnya. Pintu ruangan terbuka. Prajurit itu berdiri tegak
di sisi, membelakangi pintu. Senapati segera masuk, merogoh saku kanannya,
mengeluarkan kunci, dan membuka salah satu kamar di ruangan itu.
” Ambil kantung kulit
harimau di pojok sana,” perintah Senapati kepada Nangganan. Jaya Perkosa
membuka peti kayu yang terukur cantik, tersimpan beralaskan meja ukir kayu
jati. Memasukan sebuah mahkota dan sebuah kalung ke dalam kantung yang tadi
diambil Nangganan.
” Ayo kita pergi !”
sambil menarik tangan Nangganan karena Batara adipati Wirajaya yang diam
memperhatikan benda yang ditutupi kain putih.
” Ayo cepat, waktu kita
tak banyak !” sekali lagi Jaya Perkosa memberi perintah, sambil membetot tangan
adiknya.
” Bagaimana dengan
pusaka itu kakang ?”
” Tinggalkan !”
” Tinggalkan ?”
” Ya tinggalkan !”
” Bukankah ada dua kuda
segar yang siap membawa pusaka itu ?”
” Tinggalkan kataku !”
mata sang Senapati melotot, membentak adiknya.
” Bag, ... bagaimana
bisa ?”
” Perintah sang raja,
ayo !” Jaya Perkosa setengah berlari. Ditinggalkan adiknya yang masih termangu,
bingung menyikapi perintah kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar