Jumat, 01 Oktober 2010

BISAKAH KITA BERSAMA (LAGI) ?

Keraguan terhadap itikad pemerintah untuk melaksanakan UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akhirnya terjawab sudah dengan terbitnya Keputusan Presiden nomor 110 Tahun 2008 pada tanggal 24 September 2008 tentang Pengangkatan Keanggotaan DJSN. Keraguan para pengamat jaminan sosial itu wajar saja mengingat usulan Menko Kesra kepada Presiden tentang calon anggota DJSN sudah disampaikan sejak tahun 2006. Calon anggota DJSN yang diusulkan telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali karena ada calon anggota memasuki masa pensiun dan adanya perubahan pencalonan dari instansi yang bersangkutan. Selama kurun waktu tahun 2006 sampai 2008 ada kelakar bahwa DJSN berubah nama menjadi DJSNI, “I” bukanlah kependekan kata dari “ Indonesia” melainkan “ Insya Allah”.
UU nomor 40 tentang SJSN yang disyahkan menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati merupakan payung hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan yang selama ini telah berlaku dan mengatur pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia. Inti dari UU nomor 40 tersebut adalah sinkronisasi pelaksanaan sistem jaminan sosial di tanah air. Apa yang perlu disinkronisasi ? Sinkronisasi perlu dilakukan untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Program Jaminan Sosial, dan Kepesertaan (perluasan dan iuran). UU nomor 40 tahun 2004 mengamanatkan perlunya dibentuk sebuah dewan yang bernama DJSN untuk melaksanakan penyelenggaraan SJSN. Dewan ini memiliki posisi penting karena langsung berada dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dewan ini memiliki posisi strategis karena harus merumuskan kebijakan umum untuk sinkronisasi penyelenggaraan SJSN.
Keanggotan dewan terdiri dari 15 orang yang mewakili unsur pemerintah (5 orang), unsur tokoh dan/ahli (6 orang), unsur organisasi pemberi kerja (2 orang), dan unsur organisasi pekerja (2 orang). Dari komposisi tersebut terlihat bahwa kepentingan pemerintah – pengusaha- pekerja (tripartied) diimbangi dengan kehadiran 6 orang yang mewakili tokoh dan/atau ahli jaminan sosial sebagai penyeimbang dalam merumuskan kebijakan yang akan menjadi bahan pertimbangan Presiden. Tugas DJSN adalah : melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial; mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional; dan mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah. DJSN juga memiliki kewenangan untuk melakukan monitoring evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial.

Sinkronisasi Penyelenggaraan
SJSN harus dilaksanakan berdasarkan 9 prinsip yaitu kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan mengutamakan kepentingan peserta. Dari prinsip tersebut sangatlah jelas bahwa cita-cita SJSN sangatlah mulia yaitu seluruh penduduk negeri ini harus memiliki jaminan sosial yang mutlak diperlukan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak. Manusia yang memiliki sifat “short sighted” perlu disadarkan untuk memiliki perlindungan masa depan. Kerentanan sebagian besar masyarakat kita terlihat ketika bencana melanda, ketika terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan PHK, ketika kecacatan tubuh menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja, mendadak sontak menjadi miskin karena tidak terlindungi. Kepesertaan seluruh penduduk disertai dengan kewajiban iur kecuali bagi fakir miskin dan tidak mampu dibantu iurannya oleh negara (sudah dilaksanakan pemerintah untuk jaminan kesehatan melalui Jamkesmas/askeskin).
UU SJSN menghendaki BPJS bersifat nirlaba, seluruh hasil pengelolaan dan pengembangan investasi dikembalikan untuk kepentingan peserta karena uang tersebut berasal dari iuran peserta dan pemberi kerja. Dengan demikian BPJS harus dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan deviden. Saat ini ke-empat BPJS (Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri) sudah dibebaskan dari kewajiban menyetor deviden(pajak masih dikenakan), keputusan RUPS yang mudah2an tidak berubah dengan berjalannya waktu. Haruskan ke-4 BUMN tadi tetap berbentuk PT Persero ? Pertanyaan mendasar ini menjadi perdebatan yang berkepanjangan pada pembahasan naskah RUU BPJS yang telah disiapkan Kelompok Kerja Interdep Penyiapan Peraturan Pelaksanaan SJSN. Draft RUU menghendaki BPJS sebagai badan Wali Amanah, sedangkan ke-empat BPJS menghendaki status sebagai BUMN Khusus. Perbedaan ini tidak bisa dianggap sederhana mengingat perubahan bentuk juga berimplikasi terhadap persoalan aset, kepegawaian dan manajemen yg berlaku selama ini. Permasalahan ini merupakan salah satu tantangan berat DJSN mengingat perlunya kejelasan legalitas BPJS sebelum Oktober 2009 sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi. Sampailah tenggat waktu itupun terlewati sudah.
Kelembagaan BPJS ini sangat penting mengingat PP PBI dan Perpres Jaminan Kesehatan bila nanti sudah disyahkan akan berlaku bila BPJS sesuai UU SJSN sudah terbentuk. Tantangan yang harus dihadapi bersama, mampukah DJSN menyatukan perbedaan pendapat yang ada saat ini ? dan meyakinkan bahwa perubahan yang akan dilaksanakan itu lebih banyak manfaatnya dari pada mudharatnya. Dari DJSNI (Insya Allah) menjadi DJSNA (Alhamdullilah), semoga saja tidak kembali lagi jadi DJSNi (Innalillahi). Amien.-


(This article is a personal view).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar