Rabu, 10 November 2010

BADAI PASTI BERBAU

ANDAI NABI NAMBAH SATU BAG-KE 44

Sabtu dini hari sekitar jam empat saya terbangun, kali ini bukan karena mimpi tapi mendengar keributan di luar tenda. Saya keluar tenda berjingkat-jingkat melewati tubuh teman yang masih terlelap tidur. Ah ternyata pertengkaran lagi ! dua kelompok berhadapan antara koordinator katering dibantu staff maktab lawan ketua regu serta para pelayan katering. Seperti biasa saling berteriak memaki, dorong mendorong dan membanting peralatan katering yang bisa diraih. Pertengkaran segera berakhir, dilerai ketua maktab yang segera membawa dua orang dedengkotnya ke kantor yang terletak di bagian depan pintu masuk maktab. Bagus ! karena keributan pasti akan mengganggu jamaah yang masih tidur dan juga kurang baik bagi citra maktab. Menurut yang mengerti bahasa Arab, sebagian pelayan katering diusir pulang karena ada inspeksi ternyata mereka pekerja haram alias illegal asal Burma. Yang saya ketahui, satu dari tiga meja katering ditutup karena sebagian jamaah hari itu akan meninggalkan Mina, sebagian dari pelayan barangkali tidak diperlukan lagi.
Sabtu pagi cuaca sangat tidak bersahabat, hujan gerimis diselingi sedikit cahaya matahari, redup lagi dan angin bertiup kencang. Di langit awan hitam bergayut, teringat pada tahun 80-an menjadi pakar hujan buatan BPPT, kita menyebutnya awan bunting yang menunggu semprotan cairan urea untuk dijatuhkan jadi hujan. Ingat itu saya kirim SMS kepada Pak Karsidi, pakar dan Kepala Modifikasi Cuaca BPPT yang berbeda maktab, isinya : “ bagaimana kalau kita pecah saja awan bunting ini, kalau hujan disini kan repot pak …. ha .. ha .. !” Jam sebelas angin terasa kencang, awan hitam terpecah berlari cepat menuju Makkah, langit menjadi terang kembali. Ba’da dzuhur hujan gerimis kembali mengguyur malah angin semakin kencang, besi penahan tenda berbunyi karena saling berbenturan, kalau tenda di Arofah pasti sudah roboh. Ketika hujan bertambah besar, timbul dorongan untuk siaga menghadapi keadaan darurat. Barang yang penting dimasukan kedalam tas pinggang sedang yang lainnya kedalam tas yang kami bawa dari Sisha. Di luar tenda kami melihat aliran air berwarna coklat mulai mengalir deras, lima …. sepuluh …. kemudian duapuluh sentimeter, sandal dan barang lain yang ditaruh di bawah hanyut terbawa air. Kasur dalam tenda mulai terendam air, yang masih kering segera diangkat dan ditumpukkan karena kami masih akan menginap satu malam lagi. Tidak seorangpun terlihat panik, kita sudah terbiasa melihat aliran air bahkan banjir di Jakarta lebih dari itu. Jamaah mulai panik ketika para pegawai maktab mendatangi beberapa tenda yang ada di bagian belakang termasuk tenda yang kami tinggali. Mereka berteriak teriak dalam bahasa Arab, karena kami tidak merespon akhirnya dengan bahasa isyarat mereka menyuruh kami meninggalkan tenda untuk menghindari kemungkinan runtuhan batu dari atas bukit. Tenda kami persis berada dibawah bukit, upaya mitigasi sebetulnya sudah dilaksanakan Departemen Urusan Haji Arab Saudi. Di bagian atas bukit dipagari kawat untuk menahan laju longsor, di bagian bawah batuan dilapisi semen sebagai pengikat untuk memperlancar aliran air, di bawah bukit yang berbatasan dengan tenda ditembok kokoh setinggi 2 meter. Lokal wisdom mengajarkan bahwa penduduk setempatlah yang lebih paham mengenai perilaku alam, kami segera meninggalkan tenda beserta dengan barang bawaan. Tenda di bagian depan maktab lebih parah terendam air karena letaknya lebih rendah, jalan raya di depan maktab terendam air satu meter. Helikopter berputa-putar sekitar tempat lempar jumrah, meminta jamaah naik ke tempat yang lebih tinggi, lautan manusia berjubel di lantai dua tempat jumrah. Sandal, buah buahan dan botol minuman terapung terbawa arus air di jalanan yang kini jadi sungai menuju Sisha dan entah terus kemana. Kami terhenyak, tidak terbayangkan bagaimana dasyatnya tsunami di Aceh !
Keesokan harinya kami sudah kembali ke Sisha, jalan sangat kotor sekali penuh dengan lumpur dan barang lainnya yang terbawa banjir. Beberapa kendaraan kecil seperti sedan saling tumpang tindih, saluran air di pinggir jalan berbau busuk, debu berterbangan. Tiga hari kemudian, kegiatan pembersihan baru dilakukan di sepanjang jalanan Sisha. Ketika kami mengunjungi Makkah sisa banjir masih terlihat, Masjidil Haram sudah bersih karena memiliki sistem drainase yang baik termasuk pompa darurat, serta cleaning service yang bekerja selama 24 jam.
Pemukiman di Arab Saudi tumbuh di lahan bebatuan granit, yang memungkinkan didirikan bangunan beton permanent. Tumpukan batu granit yang sudah dibongkar dan dipecah adalah pemandangan yang biasa terlihat pada lokasi pembangunan konstruksi jalan, hotel dan perumahan. Laju penyerapan air kedalam tanah sangat lamban, gorong gorong tidak dibuat besar karena curah hujan sangat rendah. Jadi kalau hujan deras terjadi selama satu jam, banjir pasti terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar