Selasa, 30 November 2010

BERSAMA KITA BISA (BERHAJI)

ANDAI NABI NAMBAH SATU BAG KE-49

Ini bukan niru slogan kampanye salah satu capres dan cawapres pada kampanye pilpres tahun 2004 yang lalu, tapi untuk berangkat ibadah haji memang diperlukan kemampuan finansil dan kemampuan menyatukan niat antara suami dengan isteri bagi yang sudah berkeluarga.
“ Tolong panggilkan kami disana ya mas, sudah lama kami berkeinginan naik haji “ demikian pesan yang sering kita terima pada saat mau berangkat haji. Pesan itu jelas sekali, niat sudah terbesit tinggal dilaksanakan, karena Allah telah memanggil berulang kali bagi yang mampu. Boleh saja masing masing memiliki definisi untuk kata “mampu”, kita sering menjumpai orang yang tinggal di pedesaan dengan status ekonomi, status sosial dan status investasi yang lebih rendah dari kita dan mereka telah berhaji. Banyak diantara kita yang mampu membeli kendaraan dan barang kesenangan lainnya dengan harga yang sama atau melebihi ONH, tapi belum juga dipanggil (atau terpanggil ?) untuk berhaji. Niat itu memang penting bahkan dalam segala pekerjaan. Ada yang pergi berhaji karena ingin meningkatkan status sosial, ada karena malu teman selevel sudah pada berhaji, ada yang pergi dalam rangka memperbaiki citra, apapun alasannya hanya Allah yang tahu, bagi kita tidaklah baik berburuk sangka tapi doakanlah kepada setiap yang berniat haji untuk segera terlaksana, doakanlah kepada yang berangkat haji untuk menjadi haji yang mabrur, manusia yang akan naik kelas yang meningkat derajat kebaikannya.
“ Saya sebenarnya sudah mampu berhaji mas, dari segi kesehatan fisik maupun finansial, tapi terutama saya, takut sekali disana mendapat balasan atas perbuatan selama ini yang banyak ……. Ah mas tahu sendiri bagaimana saya kan ?” demikian kekhawatiran seseorang untuk berhaji. Banyak cerita tentang perjalanan haji, banyak kebenaran tentang cerita ki sanak tapi tidak sedikit cerita yang kurang tepat (atau tidak benar sama sekali), cerita yang terlalu banyak dibumbui dan dikaitkan dengan interpretasi pribadi terutama yang bersifat negatif. Kita harus yakin bahwa undangan Allah tidak untuk menghakimi perbuatan jelek yang telah dilakukan, perintah Tuhan untuk berhaji bagi yang mampu adalah ajakan menuju kebaikan. Tuhan bukanlah sosok pendendam yang akan melampiaskan kemarahanNya dengan mengundang kita, Tuhan mengajarkan bahwa hidup dan kehidupan adalah suatu proses, berhaji bisa merupakan awal suatu proses untuk memperbaiki diri.
“ Sayang amat duit susah nyarinya dipakai berhaji, dibohongi Arab lu !”. Masya Allah, tanpa kedatangan kita ke Saudi mereka tidak akan jatuh miskin, percayalah ! Ada baiknya mulai dari hal yang paling sederhana saja. Karena tugas mungkin kita sering bepergian jauh di wilayah Indonesia yang luas atau bahkan ke luar negeri, mengapa tidak ke tempat yang jadi kiblat pada saat sholat dan itu cukup sekali seumur hidup ? Kalau dinas kan tidak keluar duit sendiri bahkan mungkin saja ada sisanya buat menambah penghasilan. Berapa kali dan berapa jauh kita pergi atas biaya kantor atau sponsor ? tidakkah merasa malu untuk pergi sekali saja dalam hidup ini tanpa mengharapkan sponsor ?
“ Berhaji itu banyak tetek bengeknya, kita para jamaah kebagian bengeknya, yang satunya lagi bagian yang ngatur dan ngurus !” kalau itu benar percayalah yang memanfaatkan pengurusan haji untuk keuntungan pribadi akan mendapat bengek di akhirat nanti, kita kebagian yang enaknya, Insya Allah. Barangkali merasa bengek karena urusan hajatan pemberangkatan, urusan oleh - oleh dan bengek bengek lainnya. Cobalah mengingat dan berhitung berapa kali kita mendapat kenikmatan dalam hidup ini ? Maukah sekali seumur hidup berbagi kenikmatan dengan para sahabat dan tetangga sambil memohon doa restu dan ucapan terima kasih ? Kalaupun anda tidak melaksanakannya yakinlah bahwa niat dan haji anda tidak akan berkurang karenanya.
“ Ah saya sih belum siap untuk jadi haji, masih senang melihat yang sexy ?”, kalau begitu anda masih normal dong, orang gila tidak diwajibkan naik haji kan ? tapi itu artinya belum siap meninggalkan hobi selama ini. Jadi kapan siapnya ? terus dan teruuuus menunggu sampai siap, kapankah itu ? Bagaimana kalau pendekatannya dibalik ? Berhaji dulu lah, barangkali saja nanti matanya mulai lebih jinak.
Sepulang haji tidaklah perlu kemudian menjadi malaikat, karena takdir kita memang menjadi dan berperan sebagai manusia. Mabrur artinya ada peningkatan, kalau sebelumnya kita duduk di kelas dua SD kemudian naik menjadi kelas lima, kalau cuma naik jadi kelas 3 artinya hal normal yang bisa dicapai tanpa perlu pergi haji. Jangan berharap sahabat pulang haji kemudian naik dari kelas 2 SD menjadi kelas 2 SMP atau SMU kecuali atas kehendak Tuhan, itulah mungkin yang disebut dengan mukjijat. Mabrur itu seperti kelulusan, ada yang nilainya pas-pasan, ada yang biasa, ada yang memuaskkan dan sangat memuaskan alias istimewa, kalau disebut suma cum laude kan ber-haji bukan ujian doctor dong. Seorang sahabat pernah mengatakan (maksudnya sahabat perjalanan naik haji), perubahan itu dapat dilihat dari perbaikan perilakunya. Apakah ada peningkatan orientasi terhadap Allah ? katanya itulah makna dari tawaf yang dilakukan. Apakah ada peningkatan keberpihakan dan memperjuangkan nasib orang yang kita cintai yang menjadi tanggung jawab kita ? bukankah sainya Siti Hajar itu cerminan kasih sayang terhadap buah hatinya ? pemimpin terhadap anak buahnya, bapak/ibu terhadap keluarga. Balang adalah bentuk perlawanan dan kebencian terhadap setan, sikap yang tegas untuk berpihak kepada kebenaran, kejujuran dan bentuk lain yang berkonotasi negatif. Analogi ini tidak bermaksud meringkas atau menyederhanakan makna berhaji, tapi setiap perubahan kearah yang lebih positif jauh lebih berarti ketimbang berganti nama Arab dan tambahan gelar Haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar