Rabu, 03 November 2010

MELI AKHIRNYA MENYERAH

Jam sembilan malam kampung sudah mati, Meli terbangun dari tidurnya, masih beralaskan sajadah. Dia segera beranjak menuju tempat tidur, tapi ada perasaan gelisah di hati perempuan ini. Sejak ditinggal sang suami enam bulan lalu karena kecelakaan yang merenggut nyawanya, baru kali ini perasaan sepi menghinggapi janda muda, kembang di kampung itu. Sudah banyak, terlalu banyak lelaki yang naksir dan mengajak untuk menikahinya. Perjaka, duda, bahkan oom dari kota yang bersedia mengusir kesepian hati Meli. Dia tetap teguh, belum mau menerima kehadiran lelaki manapun karena cintanya yang dalam dengan almarhum kang Tono tukang ojek. Tidak seperti biasanya malam itu dia merasakan kegerahan yang sangat, dan memutuskan untuk mengguyur tubuhnya walaupun sore tadi telah mandi sehabis membantu pekerjaan kedua orang tuanya yang tinggal di rumah sebelah.
Kamar mandi beratap langit dibelakang rumah ditutup kegelapan malam, hanya dinding gedek yang membatasi kamar mandi dari bangunan rumahnya. Tanpa ragu perempuan berkulit hitam mulus ini membuka seluruh pakaiannya, tak mungkin ada lelaki yang ngintip di malam sepekat ini. Air yang dingin mengguyur seluruh tubuhnya, terasa sejuk dan menyegarkan, bagai tanaman di musim kemarau panjang yang tersiram air kehidupan. Digosok badannya dengan sabun yang tecium wangi pada malam itu, gosokannya lebih lama di bagian dada. Aku masih muda, aku membutuhkan belaian sayang seorang lelaki, kehangatan kasih yang bisa membahagiakan, demikian pikirnya. Busa sabun meluncur perlahan lewat lekuk tubuhnya yang masih aduhai, menetes perlahan dari selangkangan, terasa ada getaran yang sudah lama hilang dari hidup kesendiriannya. Dia bertekad kali ini harus membuka hatinya untuk seorang lelaki yang baik, yang muda, yang gagah, yang bisa mengisi kekosongan hidupnya.
Dengan tubuh masih terbalut handuk, Meli masuk ke kamar untuk ganti pakaian, terhenti di depan pintu ketika mendengar ketukan pelan di jendela kamarnya.
“ Mel, Meli buka pintu depan “ suara lirih seorang lelaki. Meli tidak yakin siapa orangnya, samar suara itu pernah dia dengar sebelumnya.
Meli bergegas ke depan, masih berbalut handuk tipis menutupi tubuhnya. Di depan pintu berdiri seorang pemuda tegap gagah, terperangah melihat Meli berbalut handuk. Sambil menyodorkan tangannya pemuda itu berkata pelan : “ Mel, maap akang ganggu ...... “
Meli segera menyambut uluran tangan lelaki didepannya, dan segera membenamkan kepala di dada lelaki itu. Tubuhnya gemetar, menahan tangis yang terpendam selama ini, degup jantung dan napas terengal lelaki itu menempel di telinga Meli. Tangan kekar lelaki itu terasa melekat di seluruh tubuhnya. Lelaki berseragam Tagana itu berkata sambil menepuk punggung Meli :
“ Cepatlah berpakaian, kita segera mengungsi ke Cangkringan. Merapi meletus lagi, jangan biarkan dirimu mati karena wedhus gembel “.

Catatan :
TAGANA = Taruna Siaga Bencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar